—Aku, kamu, kita, dan Surabaya— Pt. 2
Lebih cantik lagi waktu bulan datang sepenuhnya. Ketika mentari tak tampak batang hidungnya, lampu-lampu kota lah yang mengambil alih perannya.
Kelap-kelip lampu jalanan yang memancar sedari ujung cakrawala, hingga gemerlap titik-titik cahaya gedung pencakar langit yang nampak dari sepanjang jalan Ahmad
Yani. Dan, malam datang ketika aku tiba di Margorejo.
…
[Bawa’o motor ae. Surabaya lebih enak dinikmati
kalok naik motor.]
“Iya wes, ini aku bawa motor.”
[Tak tunggu ndek depan, ya.]
“He, aku wes ndek depan omahmu lho ini. Ojok suwe-suwe.”
[Iya-ya, sek.]
“Ayo kok, selak Minggu!”
[Iya, sek talah!]
Aku menutup telepon dan terus menunggu diatas motor, mungkin
ini cuman sebentar.
…
Selang sekian pesawat di angkasa yang mengudara, derit
pintu dari dalam rumahnya pun akhirnya terdengar membuka, perempuan dengan
rambut sebahu yang dibiarkannya tergerai, rompi rajut krem terang dengan kombinasi
celana kulot bergaris belang hitam putih, dan sepatu abu-abu itu
datang mendekat.
Tak terlalu modis untuk sekedar agenda ‘cari angin’ sambil menikmati
malam di tengah kota. Pukul 19.40.
“Suwe ne, seh?” sambutku setelah menunggu hampir setengah jam.
Dia tak menjawab, hanya tersenyum sumringah dan masih berdiri
didepan pagar rumahnya yang baru ditutup, dia masih tetap berdiri seakan hendak
menunjukkan sesuatu tanpa ingin ia tunjukkan.
Aku lalu keheranan. “Kamu kenapa? Gak ndang naik, ta?”
“Masak ndak ngerti, seh?”
“Ngerti apa?”
Wajahnya lantas merengut, “ya wes,” ujarnya lalu
segera naik keatas motor. “Ayo.”
“Iki helm e, digawe sek.”
“Emoh.”
“Lho, nanti nek ketilang ya apa?”
“Babah, salah e.”
Aku diam sejenak, motorku mulai aku hidupkan. Sambil
menunggu mesin menghangat, aku mengolah gelagatnya barusan. Mulai dari ujung
kepala sampai ujung kakinya.
Sesaat aku menengok kearah belakang, kearah
wajahnya, lalu kembali berpaling kedepan. Dia pun mulai keheranan dengan
tingkahku, “Opo’o?” tanya nya.
Setelah beberapa saat, aku baru mengerti apa yang
ingin dia tunjukkan barusan.
“Oalah, rambut’e baru, rek,” kataku segera. Lalu, aku menyesuaikan spion
sebelah kiriku agar pantulannya tertuju pada dia.
Namun, dia tak menggubris.
“Wes gak mood.” Intonasi bicaranya cepat dengan nada
datar dan wajahnya yang cemberut.
Aku cuman menaruh senyum sabar menanggapinya, lalu turun sejenak dari atas motor dan berdiri mengarah kearahnya dengan tatapan hangat.
“Terus? Rambutmu mau mbuk biarin nggebes kena angin,
ta? Hmm? Belum nek kena debu jalanan, kerikil, daun kering, serangga
kecil-kecil. Terus akhir e lepek, kotor, yo, kan? Aku ya ngerti nanti nek boros shampo
mbuk keramasi lagi, belum lagi perawatan e, makane helm-an biar terjaga … ya? Wes
ayu-ayu, lho.”
“Ini, helm e dipakek sek.” tambahku sambil menyerahkan helm kearahnya.
Tanpa berkomentar, dia menerima helm itu lantas
memakainya.
“Wes? Budal ya?”
“Hem.” Gumaman singkatnya berkata ‘iya’.
Aku terus menancap gas keluar dari area perumahan dan
mulai menderu bersama kendaraan lainnya di jalan Ngagel malam itu.
Cahaya-cahaya gedung bertingkat dari berbagai sudut mata, klakson-klakson
kendaraan yang saling balas-membalas di perlintasan kereta-api dibawah jembatan
layang Mayangkara, dan keramaian malam para penjaja kaki lima juga orang-orang
yang sibuk menikmati malamnya di taman Bungkul, Darmo bersama kerabat-kerabat
mereka.
Lantas, pelukannya menghangatkan tubuhku diatas jok
motor yang terus-terusan menabrak angin malam sampai kedinginan. Aku lalu mulai
bercerita dengan suara yang keras.
“Nek menurutku ya, malam ndek Surabaya itu lebih
cantik timbang malem ndek kota-kota lain e.”
“Memang gara-gara aku dewe sing kangen, apa ya apa,
ya. Setelah lama gak ndek sini itu lebih berkesan ae nek tiap kesini,”
tambahku.
“Kangen malemnya, ta? Bukan kangen aku nya la'an?”
Aku melirik kearahnya dari pantulan spion sebelah
kiriku. “Iya-iya, soal e ada kamu nya juga.”
Pelukannya makin erat.
“Wes ma’em?” tanyaku.
"HAH?"
"WES MA'EM, TA, BELUM?" ujarku lagi dengan suara lebih keras.
“Emmmm…,”—dia terus menggumam—“wes ta belum, ya?”
“Loh, ya apa, seh? Wes ta belum?”
“Mau ma’em, seh. Cuman nek ma’em malem-malem itu nggarai
gendut.”
“Ya wes. Jajan aja, ta?”
“Jajan apa?”
“Ya ndak tau, nyobak nyari ndek daerah sini. Kalok belum
ma’em tadi mau tak ajak ke Rawon Gubeng.”
“Mau!”
“Lho, kata e ma’em malem-malem bikin gendut?”
“Ya, sekali-kali, ‘kan ya ndak papa la’an? Ndak tiap
malem.”
"Apa ne? Tiap malem njajan terus ae, kok. Sama ae gak ma’em tapi jajan."
"Heh, kapan? Ndak yo."
"Lha yang tiap hari tak bawain itu?"
"Itu kamu yang bawa lho, ya."
"Tapi kamu seng minta, hayo."
"Kan cuman seng kemaren, seng sebelum-sebelum e kamu yang bawakno."
"Ya wes besok ndak tak bawakno lagi wes."
Dari pantulan spion, matanya menatapku sinis. Aku tersenyum lalu diam saja seolah tak melihat tatapan sinisnya. "Iya-iya, cuman becanda," sambungku.
"Ya apa nek malem ini ma'em Tahu Campur aja? Mau, ta?"
"Mau!"
Komentar
Posting Komentar