—Aku, kamu, kita, dan Surabaya— Pt. 1
Aku tiba di satu tempat, disebelah monumen hiu dan buaya yang sedang terlibat perkelahian besar. Di tempat ini, soal lelucon pendek yang suka dia lontarkan, aku masih terngiang setiap berada disini. Dan hari ini, aku rindu dia.
1 Pesan Belum Dibaca
[Kapan ke Surabaya lagi?]
—24/05’23 – 22.13
Kereta api Ambarawa Ekspres sebentar lagi bersandar di tujuan akhirnya, Surabaya Pasar Turi. Hari menjelang gelap, langit senja bertabur rona oranye yang kulihat dari balik jendela gerbong cukup menjadi hiburan ujung hariku.
Saat suara kondektur memberi aba-aba, penumpang dalam kabin pun mulai gerusah-gerusuh menyiapkan barang bawaan mereka, menurunkan koper dari ruang bagasi yang terbentang diatas kepala dari ujung keujung, dan mulai berdiri didepan pintu gerbong padahal kereta masih belum berhenti di peron.
Suara toa stasiun mulai terdengar lebih jelas dari dalam, kabin kereta mulai lengang oleh orang-orang yang menumpanginya, aku terus menenteng tas ranselku keluar dari gerbong 4 dan berjalan menuju pintu kedatangan.
Riuh keramaian publik dari suara pengumuman kedatangan dan keberangkatan kereta dari toa stasiun, bayi-bayi dan anak-anak yang berlarian dengan teriakan yang menggema di ujung stasiun, orang-orang yang berbicara satu sama lain di ruang tunggu, hingga para sopir yang menawarkan jasa taksi mereka dan sales relawan yang menawari program giat mereka di teras stasiun.
Aku acuh tak acuh dan segera memesan ojek online sembari salat Ashar di masjid warga kampung di sebelah barat kompleks stasiun.
Udara kota besar mulai tercium aromanya, ketika aku mulai berjalan terus ke arah barat menuju area SPBU tempat para driver ojek online memangkal karena mereka yang dilarang mengambil penumpang di radius tertentu dari stasiun sebagaimana aturan yang telah disepakati.
Kang ojek mulai menancap gas saat aku telah duduk sempurna diatas jok motor membelah lautan kendaraan yang amat padat dari flyover Kedung Doro hingga perlintasan kereta api di wilayah Wonokromo.
Langit senja yang mulai men-jingga bersama taburan awan cumulus diatas mereka jadi penghibur para pejuang rupiah yang baru kembali ke tempat yang mereka sebut rumah.
Deru knalpot kendaraan bermotor yang bersahut-sahutan dari segala penjuru kota, helm-helm mereka yang jadi saksi sekaligus telinga untuk mendengar keluh-kesah para manusia yang hidup di kota besar ini.
Bersama lampu-lampu kendaraan yang memancar buram dari mereka yang melintas menambah kesempurnaan cita rasa yang akan menjadi kenangan indah di tiap ujung harinya yang akan terus dinanti-nantikan olehku setiap datang kesini.
[“Ini, aku ndek Surabaya.”]
—26/05’23 – 17.14
Lagu-lagu album Manusia yang terlantun Tulus dari dalam penyuara jemala nirkabel milikku menemani momen ujung mentari yang akan pulang keperaduannya.
Para manusia yang menikmati senjanya di atas trotoar sepanjang jalan Tunjungan matanya membinar, bersama kekasihnya yang saling menaruh sandaran di pundak membuat penat seharian ini sirna seketika.
Aku tersenyum.
Hari-hariku di kota sendiri tak lebih melelahkan dibanding di kota orang. Karena disini, aku punya kamu.
—Tunjungan Romansa.
kerenn ceritanya barr, pembaca seakan-akan terbawa akan suasana yang telah tertulis walaupun Tuhan tidak menulis namanya dalam hidupku. semangat terus buat berkarya
BalasHapuswaduu, siap masbro.
Hapusaku tidak pernah berkunjung ke Surabaya, tetapi saat membaca ceritamu ini.. aku bisa menghirup bagaimana udara surabaya membawaku kepada keromantisan ceritamu.
BalasHapusmoga suatu saat bisa merasakan udara surabaya sesungguhnya yaa.
Hapusterimakasih telah meluapkan segala keadaan, emosi, dan perasaan, Arya.
BalasHapus